Selasa, 22 Mei 2012

Islam Dan Globalisasi


PENGERTIAN GLOBALISASI

                Kata globalisasi berasal dari kata global yang membawa makna universal. Universal ini bersifat umum dan agak sulit jika diartikan dengan khusus. Menurut seorang tokoh yaitu Ahmad Suparman mengatakan bahwa globalisasi adalah suatu proses yang menjadikan sesuatu bendan dan prilaku sebagai cirri dari setiap individu dan satu kelompok di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Selain itu, ada juga yang memandang globalisasi ini sebagai suatu proses sosial yang terkait dengan budaya yang telah dibawa oleh masyarakat. Selain dengan itu menyatakan bahwa globalisasi ini sebagai suatu proses sejarah yang dialami oleh seluruh manusia di dunia ini.[1]

                Dengan itu, dapat penulis simpulkan pengertian globalisasi ini adalah suatu proses yang terjadi dengan adanya pengaruh dan masukkan yang bisa diterima oleh sosial dan budaya sesuatu kaum atau inidividu itu sesuai dengan kebutuhannya. Namun, globalisasi ini membawa kemajuan, kebaikan dan ada juga membawa keburukan untuk manusia dan alam ini.

GLOBALISASI DARI SUDUT PANDANG ISLAM

                Pada dunia yang sedang berkembang dengan pesat kemajuan-kemajuan dari berbagai bidang yang tidak memiliki batas dan tahap yang ditetapkan, namun islam tidak melarang umatnya untuk menjalani kehidupan dengan membawa kemajuan tersebut. Tetapi harus kita tahu bahwa bukan Islam yang mengikut zaman tetapi zaman itu harus sesuai dengan Islam. Amat rugi jika orang memandang dengan begitu sempit pemikiran jika kita tidak bisa mengikut kemajuan zaman karena ada sisi yang lain bisa kita mendapatkan keuntungan dengan kemajuan era globalisasi ini. 

Jika kita lihat pada masa dahulu tidak ada teknologi sebegitu maju berbanding sekarang. Pada masa kini, computer itu tidak asing dimata manusia tetapi umat islam ramai yang terlewat untuk mengikuti kemajuan yang ada bahkan pencipta barangan teknologi itu adalah orang bukan islam. Bagitu kita lihat bahwa islam pada pokoknya tidak melarang tetapi sekarang masih tidak ada hasil yang dibawakan oleh dikalang orang islam sendiri. Jika untuk mewujudkan benda teknologi sudah tidak berkembang oleh orang islam, malah ada yang tidak memperdulikan dengan dan tidak mampu untuk menoperasikan computer, internet dan lain- lain.[2]

Harusnya kita sedari bahwa umat islam menjadi kelompok yang terkebelakang dalam penguasaan dan pengembangan sains dan juga teknologi. Sedangkan dari sisi yang lain, kelompok agama lain begitu maju dengan berbagai teknologi dari pengamatan terhadap luar angkasa hingga terknologi pertanian. Harus dibuktikan bahwa islam ini tidak hanya bisa menjadi pengikut global sahaja. Islam tidak melarang tetapi kenapa sekarang terjadi sebaliknya? Persoalan ini harus dijawab dengan perubahan yang memperlihatkan bahwa kita harus berubah dengan mempunyai kekuatan. [3]


[1] Dr. h. Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama Di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2005, Hal: 44 

[2] DRS. Atang Abd. Hakim, MA. Dan DR. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Cet 1, Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000, Hal 193 dan 194

[3] DRS. Atang Abd. Hakim, MA. Dan DR. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam…, Hal 193 dan 194

Jumat, 18 Mei 2012

Pengertian Hadis Mauquf


Al Mauquf berasal dari waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat. Hadis mauquf menurut istilah adalah perkataan atau perbuatan atau taqrir yang disandarkan  kepada seorang sahabat Nabi Muhammad SAW baik bersambung sanadnya kepada Nabi maupun tidak bersambung. Hadis mauquf adalah berita yang disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus.[1]

Dengan itu, dapat disimpulkan bahwa hadis mauquf adalah hadis pada sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian tidak dikatakan Hadis Marfu’ karena hadis ini tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW. [2]

Macam-Macam Hadis Mauquf :
   1)      Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi yakni “Telah berkata Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, “Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang  mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya”?
   2)      Mauquf Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan imam Bukhari, “Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertanyammum”.
  3)      Mauquf Taqriri : seperti perkataan seorang tabi’in, “Aku telah melakukan begini di depan seorang sahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Riwayat mauquf sanadnya ada yang shahih, atau hasan, dan dhaif. Adapun hukum hadis mauquf ini pada dasar prinsipnya tidak dapat dibuat hujjah kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadikan marfu’).[3]

Hukum Hadis Mauquf
Pada prinsipnya hadis mauquf itu tidak dapat dibuat hujjah kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadikan) marfu’. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa manakala hadis mauquf yang bermartabatkan sebagai hadis dha’if ia tidah harus dijadikan hujjah tetapi harus dalam perkara fadhaail dengan syarat yang tertentu.


[1]   Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Cet 1, Bandung : 1974, Hal 225 - 226
[2]   Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H, Ulumul Hadis, Cet 1, Bogor : 2010, hal 122
[3]   Drs. M. Agus Solahudin, M.ag., Ulumul Hadis, Cet 1, Bandung : 2009, hal 155

Pengertian Hadis Marfu'


Definisi hadis marfu’ menurut bahasa yakni isim maf’ul dari kata rafa’a ( mengangkat) dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi yaitu Rasullah SAW. Hadis marfu’ menurut istilah pula adalah sabda, atau perbuatan, atau taqriri (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum dan baik yang menyandarkan itu sahabat atau bukan serta baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi (terputus).[1]

Hadis marfu’ adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik sanad hadis tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadis itu sahabat maupun lainnya. Dengan demikian dapat diambil ketetapan bahwa tiap-tiap hadis marfu’ itu tidak selamanya bernilai shahih atau hasan akan tetapi setiap hadis shahih atau hasan tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.[2]

Definisi ini memungkinkan hadis muttashil, mursal, munqathi’, ma’dlal dan mu’allaq menjadi marfu’. Sedang hadis mauquf dan hadis maqthu’ tidak dapat menjadi marfu’ bila tidak ada qarinah yang memarfu’kannya.

Dari beberapa pengertian di atas bahwa hadis ini mempunyai berberapa macam yang terkait dalam pembahasan hadis marfu’. Dapat disini diutarakan bahwa terdapat delapan macam jenis hadis marfu’ yaitu : 

     1)      Marfu’ secara tashrih : perkataan seorang sahabat.
Contohnya : “aku telah mendengar Rasulullah bersabada begini”, atau “Rasulullah telah menceritakan kepadaku begini”, atau “dari rasulullah bahawasanya bersabda begini”, atau semisal dengan itu.

    2)      Marfu’ dari sabda secara hukum : perkataan dari sahabat yang tidak mengambil dari cerita Isra’illiyat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti yaitu awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi, atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat.
Contohnya : “kami diperintah seperti ini”, atau “kami dilarang untuk begini”, atau “ termasuk sunnah melakukan yang begini”.
      3)      Perbuatan yang marfu’ secara tashrih : seperti perkataan seorang sahabat.
Contohnya : “Aku telah melihat Rasulullah SAW melakukan begini”.
     4)     Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan sahabat yang tidak ada celah untuk berijtihad di dalamnya, menunjukkan bahwa hal itu bukan dari sahabat, melainkan dari dari Nabi Muhammad SAW sebagaimana disebut dalam riwayat Bukhari : “Adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burd. Burud jamak dari bard, salah satu satuan jarak yang digunakan di zaman itu sekitar 80 KM.
      5)      Penetapan ( taqrir ) yang dimarfu’kan secara tashrih : seperti perkataan sahabat.
Contohnya : “Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah”, atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW”, dan dia tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah terhadap perbuatan itu.
      6)      Penetapan yang dimarfu’kan secara hukum : seperti perkataan sahabat.
Contohnya : “Adalah para sahabat melakukan begini pada zaman Nabi Muhammad SAW”. 
7)      Sifat yang dimarfu’kan secara tashrih : seperti seorang sahabat menyebutkan sifat Rasulullah seperti dalam hadis Ali Radhiyallahu Anhu, “Nabi Muhammad SAW itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”. “Adalah Nabi SAW berkulit cerah, peramah dan lemah lembut.
       8)      Sifat yang dimarfu’kan secara hukum : seperti perkataan sahabat ini.
Contohnya : “Dihalalkan untuk kami begini”, atau “telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara zhahir menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini  dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah SAW adalah yang menghalalkan dan mengharamkan, maka penghalalan dan pengharaman itu sifat baginya. Pada pokok ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
 
Hukum Hadis Marfu’
Bisa diterima sebagai hujjah dan beramal dengannya sekiranya ia melengkapi syarat-syarat sebagai hadis shahih dan hadis hasan. Jika tidak maka ia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan untuk beramal dengannya. Dengan itu hadis marfu’ ini ada yang mencapai tahap atau martabat sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if.



[1]   Syakh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet keempat, Jakarta : 2009, hal 172
[2]   Drs. M. Agus Solahudin, M.ag., Ulumul Hadis, Cet 1, Bandung : 2009, hal 155