Jumat, 18 Mei 2012

Pengertian Hadis Marfu'


Definisi hadis marfu’ menurut bahasa yakni isim maf’ul dari kata rafa’a ( mengangkat) dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi yaitu Rasullah SAW. Hadis marfu’ menurut istilah pula adalah sabda, atau perbuatan, atau taqriri (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum dan baik yang menyandarkan itu sahabat atau bukan serta baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi (terputus).[1]

Hadis marfu’ adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik sanad hadis tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadis itu sahabat maupun lainnya. Dengan demikian dapat diambil ketetapan bahwa tiap-tiap hadis marfu’ itu tidak selamanya bernilai shahih atau hasan akan tetapi setiap hadis shahih atau hasan tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.[2]

Definisi ini memungkinkan hadis muttashil, mursal, munqathi’, ma’dlal dan mu’allaq menjadi marfu’. Sedang hadis mauquf dan hadis maqthu’ tidak dapat menjadi marfu’ bila tidak ada qarinah yang memarfu’kannya.

Dari beberapa pengertian di atas bahwa hadis ini mempunyai berberapa macam yang terkait dalam pembahasan hadis marfu’. Dapat disini diutarakan bahwa terdapat delapan macam jenis hadis marfu’ yaitu : 

     1)      Marfu’ secara tashrih : perkataan seorang sahabat.
Contohnya : “aku telah mendengar Rasulullah bersabada begini”, atau “Rasulullah telah menceritakan kepadaku begini”, atau “dari rasulullah bahawasanya bersabda begini”, atau semisal dengan itu.

    2)      Marfu’ dari sabda secara hukum : perkataan dari sahabat yang tidak mengambil dari cerita Isra’illiyat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti yaitu awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi, atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat.
Contohnya : “kami diperintah seperti ini”, atau “kami dilarang untuk begini”, atau “ termasuk sunnah melakukan yang begini”.
      3)      Perbuatan yang marfu’ secara tashrih : seperti perkataan seorang sahabat.
Contohnya : “Aku telah melihat Rasulullah SAW melakukan begini”.
     4)     Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan sahabat yang tidak ada celah untuk berijtihad di dalamnya, menunjukkan bahwa hal itu bukan dari sahabat, melainkan dari dari Nabi Muhammad SAW sebagaimana disebut dalam riwayat Bukhari : “Adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burd. Burud jamak dari bard, salah satu satuan jarak yang digunakan di zaman itu sekitar 80 KM.
      5)      Penetapan ( taqrir ) yang dimarfu’kan secara tashrih : seperti perkataan sahabat.
Contohnya : “Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah”, atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW”, dan dia tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah terhadap perbuatan itu.
      6)      Penetapan yang dimarfu’kan secara hukum : seperti perkataan sahabat.
Contohnya : “Adalah para sahabat melakukan begini pada zaman Nabi Muhammad SAW”. 
7)      Sifat yang dimarfu’kan secara tashrih : seperti seorang sahabat menyebutkan sifat Rasulullah seperti dalam hadis Ali Radhiyallahu Anhu, “Nabi Muhammad SAW itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”. “Adalah Nabi SAW berkulit cerah, peramah dan lemah lembut.
       8)      Sifat yang dimarfu’kan secara hukum : seperti perkataan sahabat ini.
Contohnya : “Dihalalkan untuk kami begini”, atau “telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara zhahir menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini  dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah SAW adalah yang menghalalkan dan mengharamkan, maka penghalalan dan pengharaman itu sifat baginya. Pada pokok ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
 
Hukum Hadis Marfu’
Bisa diterima sebagai hujjah dan beramal dengannya sekiranya ia melengkapi syarat-syarat sebagai hadis shahih dan hadis hasan. Jika tidak maka ia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan untuk beramal dengannya. Dengan itu hadis marfu’ ini ada yang mencapai tahap atau martabat sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if.



[1]   Syakh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet keempat, Jakarta : 2009, hal 172
[2]   Drs. M. Agus Solahudin, M.ag., Ulumul Hadis, Cet 1, Bandung : 2009, hal 155

Tidak ada komentar: