Definisi hadis marfu’ menurut
bahasa yakni isim maf’ul dari kata rafa’a ( mengangkat) dan ia sendiri berarti
“yang diangkat”. Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang
memiliki kedudukan tinggi yaitu Rasullah SAW. Hadis
marfu’ menurut istilah pula adalah sabda, atau perbuatan, atau taqriri
(penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik yang bersifat
jelas ataupun secara hukum dan baik yang menyandarkan itu sahabat atau bukan
serta baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi (terputus).[1]
Hadis marfu’ adalah perkataan,
perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik sanad
hadis tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadis
itu sahabat maupun lainnya. Dengan demikian dapat diambil ketetapan bahwa
tiap-tiap hadis marfu’ itu tidak selamanya bernilai shahih atau hasan akan
tetapi setiap hadis shahih atau hasan tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.[2]
Definisi ini memungkinkan hadis
muttashil, mursal, munqathi’, ma’dlal dan mu’allaq menjadi marfu’. Sedang hadis
mauquf dan hadis maqthu’ tidak dapat menjadi marfu’ bila tidak ada qarinah yang
memarfu’kannya.
Dari beberapa pengertian di atas
bahwa hadis ini mempunyai berberapa macam yang terkait dalam pembahasan hadis
marfu’. Dapat disini diutarakan bahwa terdapat delapan macam jenis hadis marfu’
yaitu :
1) Marfu’
secara tashrih : perkataan seorang sahabat.
Contohnya :
“aku telah mendengar Rasulullah bersabada begini”, atau “Rasulullah telah
menceritakan kepadaku begini”, atau “dari rasulullah bahawasanya bersabda
begini”, atau semisal dengan itu.
2) Marfu’ dari
sabda secara hukum : perkataan dari sahabat yang tidak mengambil dari cerita
Isra’illiyat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti yaitu
awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi, atau berkaitan dengan
masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di
akhirat.
Contohnya :
“kami diperintah seperti ini”, atau “kami dilarang untuk begini”, atau “
termasuk sunnah melakukan yang begini”.
3) Perbuatan
yang marfu’ secara tashrih : seperti perkataan seorang sahabat.
Contohnya :
“Aku telah melihat Rasulullah SAW melakukan begini”.
4) Perbuatan
yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan sahabat yang tidak ada celah untuk
berijtihad di dalamnya, menunjukkan bahwa hal itu bukan dari sahabat, melainkan
dari dari Nabi Muhammad SAW sebagaimana disebut dalam riwayat Bukhari : “Adalah
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan
empat burd. Burud jamak dari bard,
salah satu satuan jarak yang digunakan di zaman itu sekitar 80 KM.
5) Penetapan (
taqrir ) yang dimarfu’kan secara tashrih : seperti perkataan sahabat.
Contohnya :
“Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah”, atau “Si Fulan
telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah SAW”, dan dia tidak
menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah terhadap perbuatan itu.
6) Penetapan
yang dimarfu’kan secara hukum : seperti perkataan sahabat.
Contohnya :
“Adalah para sahabat melakukan begini pada zaman Nabi Muhammad SAW”.
7) Sifat yang
dimarfu’kan secara tashrih : seperti seorang sahabat menyebutkan sifat
Rasulullah seperti dalam hadis Ali Radhiyallahu Anhu, “Nabi Muhammad SAW itu
tidak tinggi dan tidak pula pendek”. “Adalah Nabi SAW berkulit cerah, peramah
dan lemah lembut.
8) Sifat yang
dimarfu’kan secara hukum : seperti perkataan sahabat ini.
Contohnya : “Dihalalkan
untuk kami begini”, atau “telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan
seperti secara zhahir menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menghalalkan dan
mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang
secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan
Rasulullah SAW adalah yang menghalalkan dan mengharamkan, maka penghalalan dan
pengharaman itu sifat baginya. Pada pokok ini sebenarnya banyak mengandung
unsur tolerir yang tinggi meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu
yang marfu’.
Hukum Hadis
Marfu’
Bisa diterima sebagai hujjah dan
beramal dengannya sekiranya ia melengkapi syarat-syarat sebagai hadis shahih
dan hadis hasan. Jika tidak maka ia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan
untuk beramal dengannya. Dengan itu hadis marfu’ ini ada yang mencapai tahap
atau martabat sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar